Humas IAIN Parepare---- Pemilu serentak 2019 menyisakan berbagai persoalan yang sedang disorot, bukan hanya oleh politisi tetapi juga para akademisi. Salah satunya datang dari akademisi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, Syafaat Anugrah yang menyoal masa jabatan politik di lembaga eksekutif. Kandidat Doktor Hukum Tata Negara termuda (25 tahun) Universitas Hasanuddin ini, mengusulkan agar periodisasi masa jabatan politik, khususnya presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, walikota dan wakil walikota atau bupati dan wakil bupati cukup satu periode saja.
Gagasan tersebut diungkapkannya saat menjadi narasumber dalam acara bedah buku yang berjudul "Membangun Tatanan Negara Berdasarkan Ideologi dan Konstitusi" karya Dosen senior, sekaligus Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Islam, IAIN Parepare, Yasin Soumena, Senin, 29 April di Lantai 5 Gedung Perpustakaan IAIN Parepare.
Menurut dia, regulasi tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah ditinjau dan dilakukan revisi. Idealnya, setiap orang hanya dibolehkan menjadi kepala pemerintahan baik pada tingkat pusat mau pun daerah sebanyak satu periode saja dengan masa pemerintahan selama tujuh tahun. Syafaat menjelaskan, alasan dirinya meminta regulasi itu untuk diubah, supaya bisa menciptakan seorang kepala pemerintahan yang kerjanya fokus memikirkan kesejahteraan rakyat, bukan memikirkan bagaimana cara mempertahankan sebuah kekuasaan.
"Setelah mereka dilantik, mereka bukan berpikir bagaimana mereka mempertahankan kekuasaannya di periode ke depan. Tapi bekerja bersungguh-sungguh memenuhi janjinya kepada rakyat. Penambahan masa jabatan selama 7 tahun akan memberikan keleluasaan dan ruang gerak kepada mereka untuk merancang dan menuntaskan program pembangunannya." papar pria kelahiran Pinrang, yang telah menulis 4 buku dalam usia yang masih belia.
Selain itu, kata dia, pembatasan pencalonan presiden, gubernur, walikota atau bupati hanya satu periode, juga bakal melahirkan sebuah pemilu yang akan berlangsung secara adil dan jujur. Sebab, ia menilai apabila ada calon petahana di dalam sebuah pesta demokrasi, maka potensi terjadinya kecurangan sangat besar. Dalam pengamatannya terhadap kontestasi pilpres maupun pilkada yang digelar selama ini, kehadiran petahana menjadi sumber masalah, khususnya dalam hal penyalagunaan kekuasaan, ketidaknetralan birokrasi (ASN), mobilisasi dan konsolidasi aparat, baik polisi atau pun TNI. "Jika petahana tidak ada, maka pemilu akan berlangsung jujur dan adil" tandasnya.
Sementara Yasin Soumena yang dimintai tanggapannya terkait pemilihan langsung berpendapat, jika dirinya tidak pernah menyetujui pemilihan langsung. Dosen mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan ini menilai, pemilihan langsung tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar